Sebuah media online memberitakan pernyataan artis muda yang sedang naik daun karena film-film yang dibintanginya -konon- laris di pasaran. Kata artis muda itu, ia tidak mau munafik. Seks bebas sah-sah saja asal dilakukan dengan aman.
”Kalau aman ya nggak masalah. Misalnya, si cowok disuruh pakai kondom atau pengaman. Selama itu dilakukan, silakan saja ngeseks, ” kata artis yang sedang menjalin hubungan cinta dengan pria bule berkebangsaan asing itu.
Adakah yang aneh dengan pernyataan artis muda kita itu? Mungkin tidak. Karena media massa kita; koran, majalah, televisi, atau internet, sudah sangat terbiasa dengan berbagai macam tingkah polah selebriti kita. Narkoba, selingkuh, seks bebas, kawin-cerai adalah hal biasa yang dilakukan para pelaku di jagat hiburan.
Tetapi, mari kita lihat penggunaan kata munafik dalam bahasa artis kita itu!
Dalam KBBI (2004), kata munafik mempunyai dua arti.
Pertama, berpura-pura percaya atau setia pada agama, tapi sebenarnya dalam hatinya tidak. Kedua, suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya.
Kita tidak tahu, apakah artis tersebut termasuk orang yang setia kepada agamanya atau tidak. Namun, apabila artis itu menyatakan diri tidak munafik, tentu ia orang yang setia kepada agamanya. Masalahnya, kalau setia, bagaimana mungkin ia setuju dengan perilaku seks bebas? Bukankah agama melarang perbuatan itu? Dalam konteks ini, pernyataan artis tersebut menjadi kontradiktif.
Mungkin artis kita itu ingin memaknai munafik dengan arti yang kedua. Karena arti kedua itulah yang memang memiliki konteks lebih tepat dengan ucapannya. Artis itu tidak mau terjebak untuk mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Ia ingin berkata jujur, terbuka, dan apa adanya, bahkan untuk hal-hal yang kontroversial (semacam seks bebas) sekalipun.
Agaknya, tidak keliru jika makna kata munafik dalam KKBI, oleh sebagian orang dinilai bermakna ambigu (berlawanan). Kedua makna itu menjadi benar, apabila dalam pemakaiannya, makna yang pertama dipertautkan dengan makna yang kedua. Hakikatnya, orang yang setia pada agama niscaya tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya.
Sebaliknya, kedua makna itu berpretensi keliru bila pengertian yang pertama dan kedua tidak dipertautkan alias masing-masing berdiri sendiri. Hakikatnya, orang bebas mengatakan apa saja (agar tidak disebut munafik) sekalipun perbuatan yang telah dilakukannya melanggar kesetiaan terhadap agama. Mungkinkah demikian?
Mari kita lihat bagaimana bahasa agama memaknai kata munafik!
Kata munafik berasal dari akar kata nafaqa nifaqan yang bermakna mengadakan, mengambil bagian dalam, dan membicarakan. Munafik juga berasal dari nafiqa al -yarbu yang berarti lubang yang dibuat binatang sejenis tikus dan digunakan untuk mengelabui siapa saja yang hendak menangkapnya. (A. Haikal: 2004).
Orang munafik memiliki tanda-tanda, yakni jika bicara dusta, bila berjanji ingkar, dan andai diberi amanat berkhianat (Ensiklopedi Islam: 2000). Karena sifatnya itu, Allah menyebut orang munafik sebagai orang fasik (QS:9:67) dan mereka ditempatkan sama dengan orang-orang kafir (QS: 9:68,73,74). Bahkan begitu ”istimewanya” orang munafik ini, maka ia disematkan menjadi surat tersendiri, yakni surat Al Munafiqun (QS:63). Nah lho!
Maka sungguh bijak jika kita memahami dan menggunakan kata munafik dalam bahasa keseharian dengan tidak melepaskan diri dari konteks agama. Mengapa demikian? Karena penggunaan kata munafik, kenyataannya memiliki konsekuensi yang berat di mata Tuhan.
Sumber : http://petisikotbah.wordpress.com/2009/06/05/munafik-2/
0 komentar:
Posting Komentar